...Pendakian Burangrang (XPDC CARI AIR)..  

Diposting oleh tcam.wismajaya

Ditulis oleh : Firmhang
Semilir lembah nan sejuk menyambut kedatangan kami di Desa Bukit Pintu Angin. Hari belum terlalu siang, namun sengatan matari terasa sekali membakari kulit. Handycam ditanganku mulai merekam suasana. Gunung Burangrang, 20064 m.dpl, dengan 4 puncaknya yang terjal dan curam menantang setiap pendaki untuk datang.
Desa Bukit Pintu Angin (1480 m.dpl) merupakan gerbang masuk jalur pendakian menuju Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu dari arah Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Kesejukan semilir lembah, rerumputan nan hijau dan barisan pepohonan Pinus yang indah menjulang membuat langkah-langkah kaki kami (aku, Ican, Mellon, Tika, Nia dan Mifta) tak rasakan lelahnya pendakian.
Setelah sekitar satu jam pendakian, sampailah kami dititik tinggi pertama (1600 m.dpl). Jalur yang dilalui mulai terasa sulit. Tanah merah berdebu, undakan-undakan yang cukup tinggi, akar-akar pohon hutan yang menjulur keluar serta bebatuan gunung yang menyembul dari permukaan tanah menjadi pijakan kaki kami menelusuri jalur pendakian. Ditempat ini, udara disekitar tersa semakin sejuk, baik sekali bagi kesegaran nafas para pendaki.
Peta Rupa Bumi Digital Indonesia kawasan Bandung Utara dibentangkan. Tepat dihadapan kami terdapat dua jalur yang menghubungkan kedua gunung. Jalur kiri menuju Gunug Burangrang dan jalur kanan menuju Gunung Tangkuban Parahu. Kedua jalur tersebut sama-sama melipir punggungan gunung. Bagi kami, Peta merupakan penunjuk marah utama setelah Kompas, pabila ada GPS itu tentu akan lebih baik.

Setelah beristirahat beberapa menit sambil menghirupi segarnya udara pegunungan, pendakian pun dilanjutkan. Lapisan kontur tanah makin terlihat rapat, itu bisa diartikan jalur pendakian semakin terjal dan menanjak. Dari sekitar 40 - 90 derajat. Kita harus sampai mendongkakkan kepala untuk melihat jalur pendakian.
Pendakian dilanjutkan. Air mineral sedikit demi sedikit telah hilang ditenggorokan. Membasahi kerongkongan kami yang mulai teras mengering. Tapi puncak Burangrang masih sekitar 2 1/2 jam pendakian lagi. Jadi, tak ada pilihanlain bagi kami selain terus menjejakkan kaki dan sampaii disana.

Pada titik ketinggian 1700 m.dpl, udara semakin tersa dingin, dan berkabut. Hanya sesekali sinaran matari masuk menembusi dedaunan hutan dan meredup kembali. Kabut tebal-tipis lah yang menutupinya. Kicauan burung riuh terdengar, bermacam-macam suaranya. Lengkingan Lutung terdengar melengking-lengking dikejauhan. Mungkin mengabarkan kepada kawanannya tentang para pendaki yang datang. Duhai alam.., liar lah kau..
Dari sekitar temapt tinggi ini juga, para pendaki akan disuguhkan sebuah pemandangan alam nan mengagumkan. Baik sekali untuk berfoto-foto atau sekedar melepaskan lelah yang mulai menjalari kaki. Barisan hutan Pinus 200 meter dibawh sana begitu indah dipandangan. Dihadapan kami punggungan Gunung Tangkuba Parahu dengan lembahnya yang hijau lebat tersirami sinar matari, cantik sekali.

Naik lagi ketitik tinggi 1922 m.dpl, persediaan air mulai menipis. Menurut Peta Digital ada sebuah mata air sekitar 100 meter diatas sana. Tapi itu baru perkiraan saja sehingga belum tentu bagi kami menemukannya. Walau begitu pendakian jalur terjal tetap dilakukan.
Sampai disekitar titik tinggi 1980 m.dpl, persediaan air semakin tipis. Hanya tinggal tersisa 2 liter air saja dan itu jelas tidak akan cukup bagi kmai sebagai persediaan mencapai puncak. Peta Digital kembali dibuka, diamat-amati dan coba dipahami. Menurut perkiraan memang ada sebuah sumber mata air tidak jauh dari tempat ini. Tetapi berada diluar jalur pendakian, turun kesisi tebing sebelah kiri dengan tatanan kontur tanah yang rapat sebanyak 5 tingkat. Itu bisa diartikan bagai menuruni bangunan 20 lantai dengan menggunakan tangga darurat !!!

Dua orang dari kami segera mencari sumber air. Ican dan Mellon yang dikirimkan. Sedangkan kami menunggu sambil melepaskan lelah yang mulai akrab di kaki. Tenang sekali disini, dihibur cericau burung yang bermain-main diranting. Diantarnya ada yang terlihat sedang memakan ulat, lucu sekali. Udaranya tetap dingin, walaupun matari bersinar terik dilangit.
Setelah sekitar 1 jam Ican dan Mellon turun mencari air, mereka kembali. Kabar yang dibawanya, "Sumber airnya kering, ini pengaruh musim, kita memang sedang dipenghujung kemarau,". Peta Digital kembali dibuka. Perkiraan sumber mata air terdekat adalah setelah melewati puncak, dan itu sunggh tidak mungkin untuk dicapai. Pilihan lainnya dalah turun kembali ketitik 1630 m.dpl, disekitar sana juga diperkirakan ada sumber mata air.

Kali ini aku dan Mifta yang mencari. Keril isi maksimal 80 liter kukosongkan. Rencananya kami akan menganngkut air dengan menggungakan double trashbag. Paling tidak dengan menggunakan itu 50 liter air dapat diangkut sekalian.
Udara semakin dingin, cahaya didalam hutan pun semakin meredup, padahal hari belum terlalu sore. Kabut bergulung yang merayapi pepohonan hutan menyulitkan pemandangan. Seperti jalur pendakiannya, jalur tutun yang dulalui pun terlihat semakin curam. Andrenaline serasa meningkat sat kami melewati sebuah jalur dimana kami berada diantara kedua jurang. Dikiri dan kanan jurang. Yang membuat diri rasakan tenang melangkah disana adalah ruas jalurnya yang landai, tak ada tanjakan ataupun turunan. Melangkahkan kami dengan santai dan tenang disini amat disarankan.

Sampai diditik yang ditentukan, Peta Digital kami buka. Disekitar tempat ini diperkirakan sumber mata air berada. Setelah menebas semak belukar disekitar terbukalah sebuah jalur berkontur batu yang tampaknya sudah lama tidak dipergunakan. Mungkin ini adalah jalur menuju sumber mata air. Kondisinya terlihat rusak dalam artian lain sangat-sangat curam untuk dilalui. Undakan bebatuannya licin berlumut, bercampur tanah merah berdebu, membuat siapapun harus ekstra hati-hati melaluinya apabila tidak ingin terperosok dan entah mendarat dimana.
Setelah sekian puluh meter terus menuruni jalur berbatu, tanda-tanda keberadaan mata air belum juga tampak. Hati keil sempat cemas mengingat teman-teman sudah menunggu lama diatas sana. HUtan semakin gelap, tapi aki yakin kami tidak kesasar. Kami berusaha untuk tetap berada dijalur yang harus dengan cermat-cermat melaluinya.

Cahaya yang menembus kedalam hutan semakin merdeup. Penerangan bantuan belum kami perlukan sebab jalur yang dilaluim msih terlihat walau mulai samar. Hati ku semakin cemas, tapi ku usahakan untuk tidak terlalu menguasai karena akan merusak konsentrasi. Saat beristirahat sejenak, kuputuskan untuk menghentikan pencarian sumber mata air. Kondisi nya mulai gelap dan berkabut. Haus ditenggorokan sudah tidak dirasai lagi, namun bayangan air dingin nan sejuk semakin membayang-bayang dimata. Sebelum putus asa, pencarian air terpaksa dilakukan kedesa terdekat. Dengan sejuta resiko dan konsekuensinya, potong kompas menjadi pilihan terbaik.
Bukit Pintu Angin lah yang paling dekat. Gulita sudah benar-benar menguasai. Tapi hati kami begitu tenang karena sumber mata air telah dihadapan. Teman ku Mifta sudah bisa tertawa-tawa lagi. Bukannya untuk menggoda, tetapi dia begitu cemas didalam hutan tadi.

Sambil mengisi air yang keluar dari pancuran milik warga desa, hawcigarette dibakari. Aromanya wangi sekali, bwakan sejuta damai dihati. Kami tertawa-tawa mengingat pencarian air tadi. Cauaca memang sedang dipengaruhi musim kemarau, jadi wajar saja jika sumber mata air mengering.

Dalam beberapa menit, separuh double trashbag telah terisi air, tinggal beberapa liter lagi tentu akan cukup untuk persediaan hingga esok. Setelah dirasai cukup, double trashbag tersebut dimasukkan kedalam keril, sekitar 60 liter air telah siap untuk diangkut. Sesuai dengan perjanjian, kami akan memikulnya bergantian. Seperti mempraktekkan pribahasa saja, "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing".
Perjalanan kembali menuju titik tinggi 1980 m.dpl dimana teman-teman menunggu terasa semakin berat. Double trashbag berisi sekitar 60 liter air lah yang membuat langkah-langkah kami kami tak mampu untuk mendaki cepat. Seisi hutan sudah gulita semuanya. Cahaya senter dalam genggaman dengan susah payah menembusi kabut tebal yang menghalangi pandangan. Suasananya mencekam, tapi kaki-kaki tetap kami langkahkan tuk segera sampai ditujuan.

Sampai dititik yang ditentukan teman-teman sudah tidak berada disana. Keyakinan kami mengatakan mereka sudah pindah lebih dahulu mencari space untuk mendirikan tenda. Kaos yang kami kenakan sudah basah sejak tadi oleh keringat. Nafas yang tersengal-sengal diatur hela hembusnya untuk tetap stabil. Kukatakan pada Mifta kalau teman-teman tidak jauh dari sini. Menurutku berdasar keterangan Peta Digital ada sebuah dataran yang kiranya cukup untuk mendirikan 1-2 buah tenda sekitar 80 meter diatas sana.
Perkiraanku tidak meleset. Teman-teman memang berada ditempat itu. Tenda berkapasitas 7 orang sudah tegak didirikan. Demi mengabarkan kedatangan, ku tirukan seruan si Amang dan berjawab. Teman-teman berhamburan menyambut kami.

Keril berisi sekitara 60 liter air segera kuserahkan. Senyuman dan salam dari teman-teman sudah lebih dari cukup sebagai penghargaan. Merebahkan badan sambil menghilangkan pegal-pegal dikaki memang sudah direncanakan semenjak dibawah tadi. 3 jam perjalanan turun-naik membuat diri merasakan lelah yang sangat. Udara dingin yang meliputi seisi hutan tidak terasa mengganggu, badan ku sesekali berasap memuaikan keringat. Dihamparan matras yang digelarkan teman-teman aku sempat tertidur sejenak.

Minuman panas dan makan malam sudah terhidang saat aku dibangunkan. Udara dingin dalam sekejap menjalari seluruh tubuh. Kukenakan mantel tebal tuk menghangatkan badan. Teman-teman yang lain bersenda gurau mengitari perapian. Langit diatas Burangrang begitu cerahnya malam ini. Bintang kerlap-kerlip bertebaran memayungi, indahnya bukan main. Suasana seperti inilah yang dirindukan setiap pecinta alam, damai yang menenangkan.
Lepas dari tengah malam, kami semua masuk kedalam tenda. Udara dingin mulai teras menggit ditulang. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, perapian pun dimatikan. Tibalah saat bagi kami tuk beristirahat sebab esok pendakian menuju puncak Burangrang harus diteruskan.

HUTAN BURANGRANG pukul 07.10 pagi. Matarinya cerah sekali. Tapi kabut tebal tipis masih terlihat menguasai. Teman-teman masih tertidur dialam tenda. Walau sudah tau kesiangan mereka tetap enggan melepaskan sleepingbag dari balutan. Kuhirupi kesegaran udara diluar. Kusempatkan juga melakukan sedikit gerak badan sambil berjalan-jalan diantara pepohonan hutan. Nikmati suasana pagi di hutan Burangrang sungguh menyenangkan.

Saat kembali ketenda, teman-teman sudah bangun semuanya. Mellom dan Mifta terlihat menyiapkan sarapan, yang lain membereskan peralatan tidur dan merapihkannya. Aku langsung memesan segelas coklat panas, rasanya nikmat sekali diminum diudara pagi sedingin ini.
Lewat dari tengah hari pendakian menuju puncak pun dilakukan. Kaki-kaki kami kembali menelusuri jalur pendakian. Seperti sejak diawalnya, jalur menuju puncak terlihat semakin terjal dan curam, berliku dan menanjak turun. Langit diatas Burangrang tertutup mendung yang bergelayut. Udara dingin cepat sekali menguasai. Lapisan kabut yang bergulung membuat nafas tersengal-sengal, kami sampai harus bebrapa kali berhenti untuk menguasai keadaan.

Sampai dititik tinggi 2002 m.dpl keindahan alam semakin memukau. tengkukku sampai merinding melihat jurang-jurang yang tak dapat diukur berapa meter kedalamnnya. Kalau saja ada yang terjatuh sudah tntu akan suit sekali diketemukan. Dihadapan kami pula sebuah tebing tingg indah menjulang, mengalahkan keangkuhan siapapun yang memandang. Tangan-tangan angin selama ribuan tahun lah yang mengukirnya, cadas dan terja;. Hati berseru, Allah Maha Besar !!!

Puas dengan keindahan tebing nan terjal dan jurang-jurang yang sangat dalam, pendkian menuju puncak Burangrang pun dilanjutkan. Jalur yang dilalui semakin extreame dan menegangkan. Andrenaline ku memuncak saat kami tiba disebuah jalur menanjak dengan bebatuan cadas bercampur debu sebagai pijakan. Tak ada apa-apa dikiri dan kanan selain jurang dan jurang. Licin sekali disini. Sangat disarankan untuk tetap tenang-tenang memilih pijakan. Sebuah prasasti sebagai nisan peringatan dari seorang pendaki yang tewas menghiasi penggiran jalur, "In Memoriam.." mengingatkan setiap pendaki untuk tetap mawas diri.
Lepas dari tanjakan berkontur batu nan extrime tadi, puncak Burangrang tegak dihadapan. Hanya tinggal beberapa meter saja sampailah diri menyentuh sebuah tugu sebagai titik puncak 20064 m.dpl. Sejuta syukur dipersembahkan kepada sang pencipta. Duhai CINTA, KAU kenankan kami saksikan indahnya alam MU....

BURANGRANG.., Garang....
BURANGRANG.., Aku Datang.....