Pendakian Spiritual  

Diposting oleh tcam.wismajaya

Jalan-jalan ke Gn. Lawu (3.2886 m.dpl)

Ditulis Oleh : Firmhang

Ini merupakan perjalanan wisata bersama teman-teman dari CATERVA (Komunitas Penggiat Alam Kampus Tercinta, Jakarta). Dengan menaiki kereta Bengawan, klas ekonomi dari St. Jatinegara, Jakarta, pukul 19.45, kami menuju St. Solo Balapan, Solo, Jawa Tengah, dan tiba disana sekitar sekitar pukul 09 pagi. Sebuah awal perjalanan yang cukup panjang.

Tiba di stasiun Balapan segala lelah dan lapar tertumpah disebuah warung makan. Yap sarapan..!!! Hal ini penting sekali mengingat perjalanan yang akan ditempuh masih cukup jauh. Selesai itu, rombongan yang berjumlah enam orang ini termasuk aku, Lisa, Endah, Picink, Gorip dan Riswan menumpang bis menuju Terminal Tawangmangu, Karang Anyar, untuk ganti kendaraan menuju lokasi Taman Nasional Gunung Lawu (TNGL).

Perjalanan dari Solo ke Tawangmangu ditempuh selama lebih kurang dua jam. Udara perlahan-lahan dirasakan begitu segar dan sejuk seiring dengan perjalanan bis yang mendaki perbukitan. Dan tanpa disadari hal itu membuatku sempat terlelap separuh jalan.

Tawangmangu adalah sebuah kota kecil dikaki Gunung Lawu. Banyak terdapat objek wisata didaerah ini seperti air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu memesona, Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi warisan Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir (15 M).


Pasar Sayur Tawangmangu namanya. Di tempat ini kami menyempatkan berbelanja logistik dan keperluan lain untuk pendakian. Terutama sayur mayur dan rempah-rempah relatif murah dijual disini. Dari depan Pasar ini pula tersedia Colt jurusan Sarangan yang akanmengantar kita langsung menuju kawasan TNGL dan memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan.

Img_0332_2

Lokasi pintu masuk TNGL terletak diketinggian 1.800 meter diatas permukaan laut (m.dpl). Parawisatawan maupun pendaki yang akan mengunjungi Gunung Lawu wajib melapor ke kantor dinas PERHUTANI setempat. Ada dua pintu utama pendakian yang disarankan yaitu Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Keduanya hanya terpaut 200 meter dan dipisahkan oleh perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Memilih untuk mendapatkan jalur pendakian yang lebih cepat namun nge-track, berpanorama indah dan tertata rapih hingga ketinggain 2.100 m.dpl, kami putuskan untuk melewati pintu Cemoro Sewu.

Gunung Lawu memiliki 3 puncak tinggi yaitu Hargo Dalem 3.148 m.dpl, Hargo Dumiling 3.180 m.dpl dan Hargo Dumilah. Yang terakhir tersebut tadi menjadi puncak tertinggi Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3.268 m.dpl. Ketiga tempat tersebut masing-masing memiliki catatan sejarah yang terkait dengan sisa-sisa kebesaran kerjaan Majapahit di nusantara.

Jalur pendakian Cemoro Sewu menawarkan banyak panorama yang memukau pemandangan. Pendaki akan disuguhkan ekosistem flora dan fauna yang beragam seperti ribuan jejeran pohon Pinus dan Cemara, Akasia, Angrek, Eidelwise, Cantigi, Rustania, Puspa, Beringin, beragam jenis burung seperti Burung Anis, Burung Perjak, Burung Kerak, Burung Elang dan suara-suara primata Owa Jawa dikejauhan. Kesemua kehidupan alam liar tersebut dapat dengan mudah kita temukan mulai dari jalur pendakian antara shelter 3 hingga puncak Hargo Dumilah.


Img_0512

Img_0448

Untuk menjejak puncak Hargo Dumilah melalui jalur ini memakan waktu sekitar 7 jam pendakian. Para pendaki akan menjumpai 5 shelter peristirahatan yang masing-masing berada pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.900 m dan shelter terakhir pada ketinggian 3.100 m.dpl. Antara shelter 4 dan shelter 5 terdapat mata air yang dikenal dengan nama Sendang Drajat yang diyakini para penganut aliran kepercayaan memiliki banyak khasiat bagi kesehatan dan kesejahteraan hidup.

Hingga sekarang ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik karena masyarakat yang tinggal di kaki gunung merasa takut jika hutannya dirusak maka penguasa Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Majapahit Brawijaya V, akan murka.

Menjelang shelter 3 para pendaki bisa melihat kawah Candradimuko dilereng-lereng tebing Gunung Lawu. Kepulan tipis asap kawahnya mengundang hati untuk mendekat. Namun sayang, tak ada jalur yang mudah dan aman dilalui untuk menyambanginya kesana.

Nge-camp…..

Pendakian menuju puncak Lawu Hargo Dumilah sementara harus kami hentikan mengingat malam mulai melarut dan hembusan angin terasa semakin kecang. Bulan penuh diatas kepala kami bersinar sangat terang. Siraman cahayanya yang memantul dihamparan pohon dan rerumputan membuat siapapun yang memandanginya akan merasakan ketenangan dan kedamaian yang mendalam. Di Shelter 4 ini tidak ada pos atau bangungan seperti shelter-shelter pendakian dibawahnya, namun tempat ini menyediakan beberapa space yang cukup luas untuk mendirikan 4 hingga 6 tenda sekaligus. Walaupun malam itu tenda-tenda yang kami dirikan seperti dihantam badai angin namun kami tetap dapat tertidur pulas hingga menjelang sunrise.

Nonton Sunrise

Karena berada disekitar ketingian 2.900 m.dpl, saat pagi hari dan didukung oleh hamparan langit biru yang cerah, para pendaki sudah bisa menikmati Sunrise, sebuah fenomena matari terbit nan indah menawan. Pucuk puncak Gunung Kelud, Gunung Butak, dan Gunung Wilis diarah timur, bagai membentuk sebuah lukisan alam nan memanjakan pemandangan. Selama satu jam itu kami disuguhi keindahan alam yang tak terperikan. Segala puji dan syukur terpanjat kepada Tuhan pencipta semesta alam karena diri diberikan kesempatan menikmati secuil keindahan dari kebesaran-Nya.

Melanjutkan pendakian…

Tepat pukul 12.00 kaki-kaki kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Hargo Dumilah. Langit diatas kepala cerah sekali. Matarinya bersinar terik dan menyilaukan pandangan. Anginnya berhembus sejuk namun tetap terasa kering dikulit. Gumpalan awan dibawah pemandanganku mulai menebal. Jalur pendakian yang landai hingga sejauh lebih kurang 500 m terlihat dengan jelas membentuk sebuah garisan panjang yang melipiri tebing dengan jurang-jurang dikanannya. Dari ketinggian ini, kota-kota dibawah kaki Gunung Lawu terlihat semakin mempesona.

Menjelang mata air Sendang Drajat, dikiri diluar jalur pendakian terdapat sebuah savana kecil yang ditumbuhi bunga-bunga Eidelwise dan tetumbuhan hutan lainnya. Ditengah-tengah savana ini terdapat sebuah batu besar dengan gambar telapak kaki manusia diatasnya. Konon pemilik telapak kaki ini adalah Maha Patih Majapahit Gajah Mada yang terkenal dengan sumpah Palapanya untuk seantero nusantara.

Dibebatuan tebing yang mengapit savana ini terdapat sebuah Goa yang disebut Sumur Jolotundo. Sumur ini gelap dan sangat curam, memiliki kedalaman lebih kurang 5 meter dengan lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter. Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa dan guru-guru untuk memberi wejangan/ pelajaran kepada murid-muridnya.

Mata air Sendang Drajat…

Tidak sampai 1 jam pendakian dari shelter 4 tibalah kami di shelter bayangan mata air Sendang Drajat. Sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter

dan memiliki kedalaman 2 meter. Air sumur ini tidak pernah habis atau mengering walaupun diambil terus menerus dimusim kemarau. Air Sendang Drajat ini dipercaya dapat memberikan muzijat dan penyembuhan supranatural bagi orang-orang yang meminumnya.

Pendakian dilanjutkan. Lepas dari mata air Sendang Drajat terdapat sebuah bangunan di sekitar puncak Hargo Dumilah yang disebut Hargo Dalem. Konon disinilah tempatnya raja terakhir Majapahit menghabiskan sisa hidupnya. Hargo Dalem merupakan makam kuno sekaligus petilasan Sang Prabu Brawijaya V setelah lengser keprabon.

Di sekitar Hargo Dalem ini banyak terdapat bangunan dari seng dan rumah botol yang dapat digunakan untuk bermalam dan berlindung dari hujan dan angin. Terdapat warung makanan dan minuman yang sangat membantu bagi pendaki dan pejiarah yang kelelahan, lapar, dan kedinginan. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.268 mdpl, terdapat warung-warung di dekat puncaknya.

Img_0494

Puncak Lawu, Hargo Dumilah (3.268 m.dpl)

Satu jam lepas dari tengah hari sampailah kaki menjejak di puncak Lawu, Hargo Dumilah. Pemandangannya makin indah dengan gumpalan awan yang menghampar jauh dibawah jejakan kaki. Langitnya makin biru. Anginnya makin sejuk dan tetap kering. Matarinya tetap terik namun hati semakin takjub mensyukuri diri dapat memandangi sekelumit karya dari Sang Pencipta alam semesta.

Pemandangan dari Puncak Hargo Dumilah pada saat tertutup awan sangat indah. Jika melepaskan pandangan kearah timur maka kita dapat menyaksikan beberapa puncak gunung lainnya seperti pulau - pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, seperti yang digambarkan dalam kahyangan. Bila udara bersih tanpa awan kita dapat melihat pantulan matahari dideburan dan riak ombak Laut Pantai Selatan. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak juga waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan. Melepaskan pemandangan kearah barat, kita akan melihat pucuk puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Perjalanan turun gunung…

Setelah puas berfoto ria dan menakjupi segala keindahan alam, perjalanan turun gunung pun dilakukan. Demi memuaskan rasa ingin tahu berpetualang, kami pun memutuskan untuk turun melalui jalur Cemoro Kandang. Turun melalui jalur ini para pendaki dituntut harus ekstra hati-hati karena hanya berpijak pada bebatuan gunung yang memiliki kemiringan sekitar 70 derajat dengan jurang-jurang dikanan dan kirinya. Tak ada bentangan kawat besi untuk berpegang ataupun tonggak-tonggak untuk menopang badan.

Melalui jalur Cemoro Kandang ini kita akan melewati beberapa shelter pendakian, diantaranya shelter V Selo, shelter IV Cokro Srengenge, Ondorante, Jurang Pangarif-ngarif, Parang Gupito, Taman sari atas, Taman Sari Bawah, dan shelter pendakian terakhir Cemoro Kandang.

Membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 jam jika turun melalui jalur ini. Perjalanan akan terasa sangat panjang karena pendaki harus melipiri tebing tinggi untuk sampai ke pintu Cemoro Kandang. Pendaki juga akan disuguhkan pemandangan jurang yang tak terhitung dalamnya saat tiba di sekitar Jurang Pangarif-ngarif. Jalur pendakian yang berkelok, naik turun sepanjang 200 meter harus dipagari bentangan kawat besi untuk menghindari pendaki mengalami kecelakaan atau terjun bebas kedalam jurang. Tiba disekitar Shelter Taman sari Atas, para pendaki sudah bisa mendengar suara angin yang dikeluarkan kawah Candradimuko, bergemuruh seperti badai. Hal ini mengingatkan kita bahwa alam selalu memiliki kekuatan yang dasyat luar biasa. Semoga kita senantiasa bisa pula mengekplorasi tanpa mengeksploitasinya.

Setelah 1 jam perjalanan dari shelter Taman Sari atas tibalah kami di shelter Taman Sari Bawah. Sebuah pondok kecil dengan beberapa warung disekitarnya. Ditempat ini kami tidak berhenti lama mengingat tubuh sudah terasa mulai letih dan pintu Cemoro Kandang sudah dekat dijelang.

Sekitar pukul 8 malam sampailah kami di pintu shelter Cemoro Kandang. Udaranya terasa makin dingin karena tubuh berhenti bergerak. Langit diatas kepala sudah gelap gulita, tak berbulan dan berbintang. Warung-warung yang biasanya melayani kebutuhan para pendaki pun sudah tutup semuanya. Tak ada pilihan bagi kami selain memasak sisa-sisa logistik pendakian untuk santap malam. Setelah melapor ke Dinas PERHUTANI karena pendakian sudah selesai dilakukan kami pun dipersilahkan beristirahat disebuah bangunan hingga esok menjelang.

Marhaban Yaa Ramadhan  

Diposting oleh denz2611


Poto T-Cam Wismajaya  

Diposting oleh denz2611












HUT Republik Indonesia Di RT. 01/19 Sepiii...  

Diposting oleh denz2611

Pada kemana nih pengurus RT 01 ? Kok udah bulan Agustus masih adem ayem aja ? Mana janji2nya yang dicanangkan sewaktu masih baru menjabat ?
Gw sih gak ngarepin mewah, cukup sederhana saja. Tapi yang penting ada kegiatan karena ini momen terbaik untuk berkumpul2 ria.
Saran gw, coba untuk 17an diserahkan kepada anak muda. Waktu pengurus RT yang lama, untuk 17an semuanya diserahkan kepada anak muda. Dan menurut gw berhasil. Pada saat itu, karang tarunanya berhasil mengadakan lomba (bapak2, ibu2 dan anak2), dangdutan dan makan bersama. Pengurus yang sekarang mana ? jangankan untuk dangdutan & makan, untuk lomba anak2 saja sepertinya berat sekali.
Coba pak, bergerak sedikit lebih gesit. Kasihan anak2 kecil kalau tidak ada pertandingan. Apalagi jika RT tetangga mengadakan lomba untuk anak2. Pasti mereka uring2an.
Sekian dulu ah kritik dari sayah.. Mohon maaf apabila ada salah2 kata. Permiosss....