Sumpah Pemuda  

Diposting oleh denz2611



PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.

KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.


"SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA"

Kawan-kawan Pemuda (17-45 th)  

Diposting oleh denz2611

Selamat hari raya atas sumpah yang pernah di ikrarkan oleh para pendiri bangsa ini. Semoga kita semakin memahami dan memaknainya sebagai momentum penyadaran kembali jati diri kita dan pembangunan karakter dari bangsa kita. Bahwa sumpah itu adalah keharusan bagi generasi kita hingga generasi penerus setelah kita. Sehingga, jika kita mengingkarinya, senyatanya kita telah kena "kutukan!" Mungkinkan banyak diantara pemuda kini yang bersumpah tapi bohong sehingga mereka harus di "Sumpah Pocong" hehehe.

(firmhang)

“Adil Sejak (di) Pikiran”  

Diposting oleh denz2611

Monday, March 6th, 2006

Beberapa Media massa nasional baik cetak maupun elektronik, beberapa waktu lalu menyiarkan aksi tawuran yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa kita (baca: mahasiswa Indonesia). Gak Cuma di Jakarta, tapi juga didaerah-daerah lain. Mereka saling lempar batu, saling pukul, saling menjatuhkan diri dan martabat. Mahasiswa tawuran? Masa sih?! Ughh..memuakkan! Tapi itu benar, maksudnya benar-benar terjadi dan benar-benar memuakkan! Segalanya dipicu oleh permasalahan yang sepele dan benar-benar sepele. Mereka yang terlibat hanya ingin menunjukkan diri bahwa fakultasnya punya massa yang besar dan memiliki persatuan yang kokoh. Menunjukkan diri bahwa fakultas dan almamaternya harus dibela demi harga diri.

Emosi…., reaksioner keblinger…., solidaritas semu….menjadi hiasan di otak dan pikiran mereka demi mempertahankan mahkota. Ya mahkota kehormatan dan solidaritas semu. Tawuran demi kehormatan. Ah tawuran! Apakah itu ciri kaum terpelajar masa kini dalam menyelesaikan permasalahannya? Cenderung ikut-ikutan jadi jaksa sekaligus hakim tentang perkara yang belum diketahui benar-tidaknya, dan lalu tanpa disadari telah membangun suatu pengadilan sendiri-sendiri. Gak saja di kampus, juga menjalar sampai ke sidang-sidang dewan rakyat, main keroyok, main pukul. Bahkan menurut sebuah berita nasional terakhir, tentara dan polisi saling baku tembak di Ambon. Akibatnya 2 orang harus masuk peti mati dan empat lagi dikirim ke R.S. Suatu pencerminan diri yang sedikit moral dan individualitas !

Mengenai hal individualitas, tiba-tiba teringat akan kata-kata guru ngaji ku dulu, “Kalau setiap individu punya individualitas, individu-individu itu akan menyatakan pendapatnya, mereka ta’u akan segala tindakan dan akibatnya. Kalau massa tidak, emosi dan solidaritas semu menjadi patokan dan titik puncak dari hilangnya kendali diri mengarah kepada tawuran…dan itu adalah kerusakan..” Tawuran? Apakah itu juga karena diri gak punya individualitas dan sedikit moral? (dan maaf) Dalam hal ini mungkin bisa-bisa saja di bilang begitu.

Kasus-kasus perkelahian itu hanyalah sekedar contoh dari kurangnya memupuk individualitas dalam diri. Individualitas secara pribadi, individualisme yang terarah positif, bukan dalam arti lebih memikirkan diri sendiri demi kepentingan pibadi dan golongan atau malah tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling. Kata guru ngaji ku lagi, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir (baca: terpelajar),” dan dia juga melanjutkan, “Kalau rasa ‘kemanusiaan’ tersinggung, misalnya, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras akan ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana,” perkataannya cukup beralasan. Banyak hal terkait yang mencolok didepan mata kita dan bila harus dituliskan, tentunya tidak akan cukup terjabarkan di disini.

Dalam sikap dan pikiran yang masih juga menyikapi peristiwa-peristiwa ekstrim itu, turut terlintas perihal “reaksioner keblinger” dan “Solidaritas Semu”, Ku pikirkan dan kupadu dengan pemahaman sendiri, lalu kira-kira beginilah jadinya tentang apa yang terbersit di dalam otak ku: Karena “reaksioner keblinger” dan “solidaritas semu”, orang dengan rela meniru-niru dan melakukan tindakan apa saja demi yang disoliderkannya. Tak perduli apakah orang/ pimpinan yang disoliderkannya itu iblis mata satu atau hantu dari neraka yang belum terdaftar. Dengan meniru atau melakukan tindakan yang diilhami oleh sang solidaritas semu, orang merasa akan terkurangi tanggungjawab pribadinya, yang memang sebenarnya sudah sangat kurang dari pas-pasan. Kalau terus menerus tak menyadari diri, lambat laun akan membuat orang itu semakin tak berpribadi sama sekali. Hmm….Aku berpikir dan berpikir lagi, apakah memang benar seperti itu?

Memang, pada awal-awal kehidupannya, kata guru ngaji ku lagi, setiap manusia memulai segalanya dengan meniru-niru. Dan meniru apa saja yang baik dan bermanfaat justrulah tanda-tanda kemajuan. Semua pribadi yang berkembang memulai dengan meniru-niru sebelum dapat berdiri diatas kakinya sendiri, namun sepatutnya orang harus membiasakan diri dengan kenyataan-kenyataan baru dan seyogianya belajar pula menjadi sesosok pribadi yang memiliki individualitas sendiri.

Sejak dari awal, tulisan ini bukannya berniat untuk ikut-ikutan menguliahi teman-teman, karena penulis ta’u teori-teori perkuliahan yang kita dapat selama ini sudah cukup melelehkan otak dan pikiran, jadi tulisan ini hanya sekedar me-refresh, kalau hati dan pikiran adalah nahkoda jiwa yang akan terus mengarahkan diri kemana pun layar dikembangkan. Individualitas sebagai titik tolaknya dan pendidikan yang kita dapat haruslah membawa diri dan pikiran kita kepada hakekatnya seorang terpelajar. Terpelajar dalam setiap tindak-tanduk, terpelajar menginsafi diri, berprilaku intelektual. Senantiasa berpikir sebelum bertindak, apakah segala yang akan dikata dan dikerjakan tidak menyakiti atau bahkan melanggar hak-hak orang lain.

Memelihara individualitas merupakan tanggungjawab langsung kepada diri sendiri bahwa kita: menghargai diri kita sendiri, menghargai pikiran dan pendapat-pendapat sendiri, juga menghormati pikiran-pendapat dan hak-hak orang lain. Selain itu juga, individualitas berperan penting dalam mengarahkan cara kerja otak untuk menjauhi tindakan yang bertentangan dengan norma dan hukum. Penulis kira, itulah gunanya kita menempuh pendidikan tinggi sampai detik ini. Membangun pribadi yang kokoh tanpa tergantung atau terkontaminasi pribadi-pribadi lain dan menjadi sosok terpelajar sesunguhnya.

“Dan ciri dari terpelajar itu, ingat-ingat. .,” kata guru ngaji ku yang jagoan itu, “dia selalu belajar berlaku adil semenjak dalam pikirannya, sudah adil sejak masih dipikiran, apalagi dalam perbuatannya,” ku resapi wejangan itu dengan diam-diam. Memahami dan coba menuai arti baik dari kata-katanya. Setiap terpelajar harus memiliki individualitas dan berlaku adil. Ya, adil semenjak masih dalam pikiran! Adil sejak di pikirannya, dan itulah galibnya kaum terpelajar. Sudahkah kita mencoba?!

SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA...


(firmhang)

Sahur On The Road Penuh Kesan (Cerita Perjalanan)  

Diposting oleh denz2611


Ditulis Oleh : Nadiah

Rumah, pukul 21.30

Aku tengah mengenakan jilbabku ketika HP di atas meja kecilku berbunyi. Ada sebuah sms masuk. “Mbak, jadi jalan nggak?” Kujawab dengan singkat, ”Jadi”. Kulanjutkan aktivitasku, tapi baru saja kuselesai mengaitkan ujung besi variasi di bagian belakang jilbabku HP di atas meja kecilku lagi-lagi berbunyi. ”Mbak, aku juga nggak?” Dan lagi-lagi kujawab dengan singkat, ”Jadi...jadi” sambil tertawa geli. Segera kuraih tas kecilku dan berjalan ke bawah. Kubuka sebuah pintu yang menuju kamar yang paling ujung. Tampak tiga orang perempuan di dalamnya. Satu wanita hamil yang tengah tertidur lelap dan dua lainnya yang menatapku dengan pandangan tahu-sama-tahu.

”Yah, kayaknya teknologi jaman sekarang emang canggih banget. Satu atap, tapi tetep....Komunikasi jalan tanpa tatap muka,” kataku nyengir. Dua gadis di depanku jadi agak salah tingkah. ”Yah, maklum. Kita nggak sabaran nunggu Mbak turun. Takutnya nggak jadi. Makanya nanya”, jelas gadis yang duluan sms. ”Iya, aku juga penasaran. Jadinya, aku tambahin nanya hal yang sama. Biar pasti gitu,” kata gadis yang kedua dengan bersemangat. Dan ya. Aku pun bersemangat. Karena hari ini untuk pertama kalinya aku dan dua perawat yang tinggal di rumahku, Umi dan Ita, akan mengikuti acara Sahur on the Road prakarsa salah seorang teman SMA-ku yang sekarang sohiban denganku, Denny. Sejak pagi kami sudah menyiapkan selusin baju, kue, dan tas yang mungkin bisa disumbangkan selama perjalanan menuju sahur. Adik Denny, Yogi, sudah mengambilnya sore tadi. Dan sekarang saatnya bergabung. Cuma tinggal menunggu satu orang lagi yaitu Andi, mahasiswaku, yang katanya mau mengantar moci. Semula kami berharap bisa berangkat bersama satu teman SMA-ku yang lain yang katanya mau jalan juga, tapi sayang tak ada jawaban apapun darinya selama dua hari aku menghubunginya. Dua mahasiswiku yang dekat rumah, Mega dan Kartini, pun tidak bisa ikut karena Mega sakit sedangkan Kartini baru menghabiskan seharian dengan acara Ramadannya di asrama haji. Aku sendiri mestinya siang tadi berangkat ke Rawamangun untuk ikut buka puasa bersama komunitas puisi yang kuikuti, tapi setelah seminggu sakit rasanya tak sanggup menghadiri dua acara sekaligus berturutan.

Maka, karena mahasiswaku Andi kebetulan baru balik dari Sumedang dan berjanji mengantar moci ke rumah, aku pun mengajaknya. Selain lebih aman membawa laki-laki dalam perjalanan, Andi termasuk anak jalanan yang tahu kehidupan orang-orang yang malam nanti niatnya kami bantu. Mungkin lain kali akan aku ceritakan kisah Andi dan kakaknya yang luar biasa dalam memperjuangkan hidup mereka dan anak-anak yang biasa kita temui di pinggir jalan atau di angkutan umum sambil membawa gitar atau kerecekan di tangan.

Andi datang sekitar pukul 21.40 dan kami pun langsung melesat menuju kediaman Denny di Wisma Jaya. Atau persisnya ke depan Rumah Sakit Sentosa. Selagi kami duduk menunggu jemputan di depan warteg yang berseberangan dengan rumah sakit, datanglah Deni bersama Yogi. Kami membuntuti motor mereka dengan susah payah karena mereka sepertinya lupa kalau mereka antara lain dibuntuti cewek yang sebisa mungkin menghindari kecepatan lebih dari 50 km/jam. Syukurlah kami sampai dengan selamat di depan rumahnya. Tampak belasan anak muda, laki-laki dan perempuan, sudah sabar menunggu di sana. Ada yang duduk di atas motor, jongkok di pinggir jalan, atau duduk di bangku. Dua anak dengan sigap segera mengangkut sebuah kursi taman dari rumah Denny dan menempatkannya di belakang tempat kami berdiri. Kami pun disuguhi es campur yang masih dingin. Wah, rasanya benar-benar diperlakukan istimewa.

Lambat laun kulihat semakin banyak anak yang datang. Kuhitung-hitung ada sekitar 40 anak lebih yang terkumpul. Aku berdecak kagum. Ternyata, Denny dan kawan-kawan hebat juga. Dia selalu bilang kelompoknya yang ia namakan T-Cam termasuk anak-anak radikal, nyatanya mereka punya kepedulian yang tinggi terhadap sesama mereka. Selagi orang-orang lain terlelap dalam tidur mereka, kecuali yang tengah tadarus di mesjid atau kediaman masing-masing, mereka menyiapkan segala keperluan untuk menjalankan Sahur on the Road buat memberikan sedikit berbagi keindahan ramadan bersama kaum dhuafa.

Tak lama kemudian, Denny dan temannya, Supri, mengomandani anak-anak untuk bersiap pergi. Masing-masing memegang sebungkus nasi untuk dibagikan, sementara mobil terdepan mempersiapkan bungkusan kue, baju, dan minuman. Perjalanan dimulai dari Bulak Kapal sampai Cipinang, lalu balik ke Bekasi. Dalam rombongan, hanya aku dan Umi yang semotor sama-sama cewek. Akibatnya, kami sering menjadi buntut rombongan. Semula kami tidak menyadari itu. Karena kami sudah merasa cukup ngebut. Apalagi, kami berpatokan pada mobil di depan kami. Nyatanya, semua pengendara motor yang lain sudah jauh di depan hingga cowok-cowok yang bertugas sebagai barikade pengaman sering memberi aba-aba untuk mempercepat laju kendaraan kami.

Dingin terasa menerpa wajah dan tanganku. Aku serasa akan membeku. Tapi, rasa dingin ini kontan pudar ketika kulihat para gelandangan yang tidur di antara semak, di halte bis, dan pelataran pertokoan. Sebagian terbangun dengan rasa kaget dan masih dalam kondisi linglung ketika mendapati bungkusan makanan dan minuman di sisi mereka. Sebagian lagi cepat-cepat bangkit dan berlari menuju mobil dan deretan motor kami untuk mendapatkan makanan dan minuman sambil mengucap terima kasih berkali-kali – walau banyak juga yang berlalu begitu saja setelah mendapatkan jatah mereka. Kejadian yang paling membuatku kaget adalah ketika seorang lelaki tua nekad menyeberang jalan tanpa lihat kiri-kanan hingga nyaris tertabrak mobil gara-gara tak mau ketinggalan dalam menerima ransum buat dirinya dan istrinya yang duduk di trotoar beralaskan kardus tua. Kami sedapat mungkin meneriakinya, ”Pak, sudah di seberang saja. Biar kami yang antarkan.” Tapi, dia sudah tak lagi mengandalkan akal sehat dan untungnya masih diselamatkan oleh Allah SWT.

Dalam lanjutan perjalanan, menjelang perempatan GOR, segerombolan anak jalanan pelan berdiri dan menghampiri rombongan kami. Dari kejauhan, kulihat Andi bercakap-cakap akrab dengan sejumlah anak ini. Dia kelihatannya mengenal mereka. Tapi yah, tentu saja. Mereka beberapa anak binaan dirinya dan kakaknya, seperti yang diungkapkan Ita yang diboncengnya kepadaku kemudian.

Satu hal yang pasti, aku dan Umi tanpa sadar sama-sama memanjatkan rasa syukur pada waktu bersamaan karena Allah telah melimpahi kami dengan keberkahan berupa rumah yang nyaman, makanan yang berlimpah, kasih sayang berkecukupan, dan hidayah iman dan Islam. Tidak seperti mereka, kami tak perlu bergumul dengan rasa jijik orang lain, baju kotor, panas terik, dingin mematikan, atau rasa lapar setiap harinya. Kami bisa bergelung di atas kasur yang empuk, bersantai di saat kami menginginkannya, dan bekerja di saat kami memerlukannya. Kami bisa bersilaturahmi dan bercengkrama bersama teman dan keluarga. Maka, nikmat Allah manakah yang dapat kami abaikan malam itu, sementara kesengsaraan dan kemiskinan tampak nyata di pelupuk mata?

Pada perhentian selanjutnya, kami parkir tepat di samping seorang nenek yang baru saja menerima sebungkus nasi. Ia cepat-cepat menyembunyikan nasinya itu dan berpura-pura seolah belum menerima apa-apa. Kami merasa lucu sekaligus prihatin. Apalagi, ketika orang-orang mulai berebut mengambil baju dan makanan dari mobil. Meskipun diteriaki untuk tertib dan memberikan kesempatan kepada teman-teman mereka yang belum memperoleh jatah, tak ada yang mau mengalah. Maka, tampaklah seorang laki-laki yang mendapat daster kebesaran, anak kecil yang berlari bermil-mil untuk memperoleh tambahan perbekalan, atau ibu-ibu berbadan gemuk yang dengan ngos-ngosan menyeka keringat dan nyaris kehabisan napas saking berusaha menyerobot maju di antara kerumunan.

Semua kejadian ini menumbuhkan keharuan dan kesadaran dalam diriku betapa sumbangsih kita yang terkecil pun bisa begitu berarti bagi orang lain. Hingga, ketika perbekalan habis dan tak ada yang tersisa, mereka yang tak kebagian tampak berdesah penuh kecewa dan menunduk dengan lesu. Beberapa bahkan masih bertanya penuh harap, ”Benar udah habis, Mas?” yang dijawab dengan kepastian ”Ya”.

Apa boleh buat. Kebaikan dalam semalam tak mungkin bisa mengubah kehidupan semua yang membutuhkan. Tapi, bayangkan bagaimana jika semua Muslim dan Muslimah melakukan hal yang sama. Membantu sesama dalam setiap kesempatan. Pasti kesejahteraan merata perlahan-lahan bisa kita raih dalam negeri tercinta. Tentu saja perlu ada koordinasi yang baik untuk mengamankan situasi. Karena seperti yang bisa dilihat dari peristiwa zakat mal maut di Pasuruan yang menewaskan 21 orang dan diperkirakan akan bertambah jumlah korbannya, tanpa koordinasi yang baik, kebaikan dapat berujung tragedi. Itu sebabnya, aku merasa salut kepada teman-teman T-Cam yang berhasil menguasai keadaan tanpa kericuhan. Tapi, mungkin akan lebih baik jika orang-orang yang menggelandang ini diberikan keterampilan atau kegiatan bermanfaat sehingga mereka dapat merasakan hidup yang lebih cerah dalam jangka waktu yang panjang berdasarkan tenaga dan pemikiran mereka sendiri. Toh pengalaman telah mengajarkan bahwa bahkan BLT atau pemberian sembako gratis dari pemerintah yang notabene diamankan petugas kepolisian sebagian besar berakhir ribut dan diwarnai kekerasan.

Menjelang pukul tiga pagi rombongan kami sampai di salah satu panti asuhan di Bekasi untuk sahur bersama. Kuperhatikan kondisi panti asuhan itu. Sebuah lukisan bergambar kaligrafi tampak menggantung miring seolah siap jatuh ke tanah. Dindingnya berwarna kelabu, termakan oleh waktu. Sementara tangga kayu tampak lapuk hingga memberi kesan kumuh dalam rumah yang sebetulnya cukup besar itu.

Seorang anak laki-laki dengan setengah mengantuk berjalan menuruni tangga dan malu-malu melewati teman-teman T-Cam yang sudah terlanjur memadati seluruh lantai bawah. Pemimpin panti dengan hangat menyambut kami disusul penjelasan perwakilan T-Cam tentang alasan kedatangan kami. Tapi, selama ramah-tamah ini aku sendiri malah tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku berangan-angan bagaimana seandainya panti bagi anak-anak yatim-piatu itu dipugar dan diperindah agar nyaman. Selama ini aku bercita-cita membuka tempat serupa karena aku sangat suka dengan anak-anak. Hanya saja, memang sulit untuk mewujudkannya. Penghasilanku yang naik-turun, bisnis keluarga yang baru berjalan, fakta bahwa tak mungkin mendirikan sebuah panti asuhan sendirian, membuatku mafhum bahwa pengurus panti tentu telah berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan rumah yang menaungi belasan anak yang tinggal di sana. Bagaimanapun, kupikir kalau saja mereka lebih memperhatikan faktor-faktor kecil seperti lukisan di ruang tamu yang begitu terlihat, tapi dibiarkan miring begitu saja, tentu anak-anak akan lebih senang dan bergembira. Hatiku rasanya seperti tersayat ketika melihat beberapa anak bermata sembab dan wajah manis mereka. Bisa kubayangkan betapa anak-anak seusia mereka membutuhkan kasih sayang orangtua, namun sedari kecil tak lagi merasakannya. Aku mencium lembut pipi anak yang terkecil dan berdoa dalam hati untuk kebahagiaan mereka.

Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Dan hoho. Sejak yang terakhir kali kami mengemudi paling belakang, kami kini selalu menjadi yang paling depan. Yap. Kami bahkan menjadi penunjuk arah menjelang detik-detik terakhir sebelum kami berpisah di tengah jalan. Aku, Umi, Ita, dan Andi akhirnya berpamitan dari rombongan T-Cam dengan janji jika umur kami panjang dan Allah mengijinkan kami akan ikut berpartisipasi kembali tahun depan.Dan begitulah. Meskipun badan terasa pegal-pegal, kantuk luar biasa membuat mata nyaris tak dapat membuka lagi, kami merasakan pencerahan. Semoga saja, melalui sahur on the road ini Allah meluaskan rejeki dan kehangatan yang terpatri dalam hati hamba-hambanya yang kecil ini. Terima kasih, khususnya, kami haturkan kepada Denny dan kawan-kawan untuk hadiah silaturahmi, persaudaraan, dan pengalaman yang sangat berkesan.

(Nadiah Abidin, 16 September 2008, pukul 2:40 a.m., sambil menunggu waktu sahur tiba).

Saur On The Road 1429 H (3)  

Diposting oleh denz2611

Rencana T-Cam untuk mengadakan saur on the road bener-bener terlaksana. Acara ini terlaksana atas kerja sama antara T-Cam Wismajaya, Prodia Bekasi, anak-anak smunsasi98 dan anak-anak Kali Abang Bekasi.

Hari Sabtu tanggal 13 jam 21.00 anak-anak T-Cam sudah mulai berkumpul di base camp. Anak-anak Kali Abang menelpon gw untuk minta dijemput di rumah sakit Sentosa sekitar jam 22.00 WIB yang terdiri dari Nadiah beserta 3 kawannya. Sedangkan anak-anak Prodia sendiri akan bertemu rombongan di Bulak Kapal. Sampai di base camp, Nadiah ngomong ke gw, Den.. gw kira banyak anak-anaknya, kok cuma segini ? Trus gw jawab, tenang Nad.. Ini blom kumpul semua.

Sekitar jam 22.30 segala persiapan sudah beres semua. Mulai dari nasi bungkus, buah-buahan, kue, air minum dan pakaian bekas sudah diatas mobil pick up. Pengarahan terakhir dan doa-pun diberikan kepada anak-anak T-Cam supaya saur on the road kali ini berjalan lancar. Tepat sekitar jam 23.00 rombongan mulai berangkat dan akan melalui rute-rute yang telah ditentukan yang sebelumnya disurvey terlebih dahulu.

Sampai di Bulak Kapal, Bagol cs dari Prodia Bekasi bergabung dengan rombongan. Dimulai dari Bulak Kapal-lah T-Cam mulai membagikan makanan. Kemudian dilanjut ke Kali Mas Bekasi dan terus ke SMP 2 Bekasi. Dari SMP 2 Bekasi kita lanjut ke lampu merah Metropolitan Mall Bekasi. Berhenti disini lumayan lama, karena banyak sekali gelandangan dan bahkan jumlahnya diluar perkiraan kami. Selesai di lampu merah MM, kami memutar balik dan mengarah ke Kartini. Disinipun jumlahnya sangat banyak dan lagi-lagi diluar perkiraan. Dari Kartini kita lanjut ke Proyek Bekasi. Disini memang banyak gelandangan yang tidur emperan toko dan yang tertidurpun kami bangunkan melalui toa. Disini teman-teman T-Cam mulai mencari para kaum duafa yang ditakutkan tidak mengetahui kedatangan kami.

Dari Proyek kami lanjut ke stasiun Bekasi dan terus dilanjut ke GOR Bekasi. Selesai membagikan, kami istirahat sekitar 15 menit disini. Sambil bercanda-canda dan berfoto-foto ria, gw, Supri, Bebek & Bagol mendiskusikan beberapa hal yang mungkin diluar dugaan kami. Jujur.. banyak perkiraan-perkiraan kami yang meleset, padahal sebelumnya kami telah mensurvey tempat dan jamnya.

Setelah beristirahat cukup, kami melanjutkan perjalanan ke Grand Mall Bekasi yang masuknya melalui rumah sakit Mitra Keluarga. Dari Grand Mall kita terus mengarah ke Kranji dan Harapan Indah. Dari HI kami lanjut ke Klender Jakarta dan berhenti cukup lama. Disini teman-teman T-Cam mulai menyebar untuk mencari kaum duafa. Selesai di Klender, kami lanjut ke Cipinang. Disinilah pembagiannya agak2 sedikit ricuh, karena orang-orangnya tidak bisa diatur. Memang stok nasi untuk mereka yang berada dijalanan sudah hampir habis, tapi stok pakaian, kue dan buah2an masih banyak. Karena tidak tertib itulah pembagiannya jadi tidak merata. Padahal teman-teman sudah berusaha menertibkan agar mereka antri, tapi mereka tidak bisa diatur (untuk bpk2 penguasa, lihat kejalanan, mereka sangat kelaparan sekali). Bahkan pakaian yang diperuntukan untuk anak yatim pun, terpaksa kami bagi untuk mengganti kekecewaan mereka yang tidak kebagian nasi bungkus.

Jam sudah menunjukan pukul 2.30 selesai di Cipinang, kami putar arah untuk melanjutkan perjalanan ke panti asuhan di daerah Kranji Bekasi. Karena waktu sudah mepet untuk saur bersama dengan anak yatim, kecepatan kami agak sedikit dikebut karena kami janji akan datang tepat jam 3.00 WIB. Sampai di panti asuhan sekitar jam 3.15 ternyata kami sudah ditunggu tuan rumah. Setelah berbasa basi, gw mengintruksikan untuk mulai membagikan nasi bungkus yang dimulai dari tuan rumah dulu. Ini untuk mengantisipasi kurangnya nasi bungkus yang kami bawa. Setelah tuan rumah terbagi semua, kami mulai membagikan kepada anak-anak T-Cam. Dan benar dugaan gw, ternyata nasi bungkusnya kurang. Tapi untung kurangnya cuma 2 orang saja, gw dan Supri dan terpaksa gw mencari Warteg (maaf yah kalo menu gw & Supri berbeda dengan teman-teman). Selesai melahap nasi, kami pun mulai makan buah2an beserta para anak yatim.

Setelah selesai dan berdoa bersama, kami berpamitan untuk pulang ke markas T-Cam. Sampai di markas, kemudian kita berfoto2 sejenak daan setelah itu pulang kerumah masing-masing. Gw mengucapkan terima kasih banyak kepada anak-anak Prodia Bekasi, anak-anak Kali Abang, anak-anak smunsasi98, Pak Narto yang sudah meminjamkan mobil pick up-nya dan tentunya seluruh elemen T-Cam. Jika umur kita panjang dan diberikan rezeki, Insya Alloh tahun depan kita akan mengadakan saur on the road seperti tahun sekarang dan tahun sebelumnya. Semogaa... Hidup T-Cam !!!

Saur On The Road 1429 H (2)  

Diposting oleh denz2611