“Adil Sejak (di) Pikiran”  

Diposting oleh denz2611

Monday, March 6th, 2006

Beberapa Media massa nasional baik cetak maupun elektronik, beberapa waktu lalu menyiarkan aksi tawuran yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa kita (baca: mahasiswa Indonesia). Gak Cuma di Jakarta, tapi juga didaerah-daerah lain. Mereka saling lempar batu, saling pukul, saling menjatuhkan diri dan martabat. Mahasiswa tawuran? Masa sih?! Ughh..memuakkan! Tapi itu benar, maksudnya benar-benar terjadi dan benar-benar memuakkan! Segalanya dipicu oleh permasalahan yang sepele dan benar-benar sepele. Mereka yang terlibat hanya ingin menunjukkan diri bahwa fakultasnya punya massa yang besar dan memiliki persatuan yang kokoh. Menunjukkan diri bahwa fakultas dan almamaternya harus dibela demi harga diri.

Emosi…., reaksioner keblinger…., solidaritas semu….menjadi hiasan di otak dan pikiran mereka demi mempertahankan mahkota. Ya mahkota kehormatan dan solidaritas semu. Tawuran demi kehormatan. Ah tawuran! Apakah itu ciri kaum terpelajar masa kini dalam menyelesaikan permasalahannya? Cenderung ikut-ikutan jadi jaksa sekaligus hakim tentang perkara yang belum diketahui benar-tidaknya, dan lalu tanpa disadari telah membangun suatu pengadilan sendiri-sendiri. Gak saja di kampus, juga menjalar sampai ke sidang-sidang dewan rakyat, main keroyok, main pukul. Bahkan menurut sebuah berita nasional terakhir, tentara dan polisi saling baku tembak di Ambon. Akibatnya 2 orang harus masuk peti mati dan empat lagi dikirim ke R.S. Suatu pencerminan diri yang sedikit moral dan individualitas !

Mengenai hal individualitas, tiba-tiba teringat akan kata-kata guru ngaji ku dulu, “Kalau setiap individu punya individualitas, individu-individu itu akan menyatakan pendapatnya, mereka ta’u akan segala tindakan dan akibatnya. Kalau massa tidak, emosi dan solidaritas semu menjadi patokan dan titik puncak dari hilangnya kendali diri mengarah kepada tawuran…dan itu adalah kerusakan..” Tawuran? Apakah itu juga karena diri gak punya individualitas dan sedikit moral? (dan maaf) Dalam hal ini mungkin bisa-bisa saja di bilang begitu.

Kasus-kasus perkelahian itu hanyalah sekedar contoh dari kurangnya memupuk individualitas dalam diri. Individualitas secara pribadi, individualisme yang terarah positif, bukan dalam arti lebih memikirkan diri sendiri demi kepentingan pibadi dan golongan atau malah tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling. Kata guru ngaji ku lagi, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir (baca: terpelajar),” dan dia juga melanjutkan, “Kalau rasa ‘kemanusiaan’ tersinggung, misalnya, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras akan ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana,” perkataannya cukup beralasan. Banyak hal terkait yang mencolok didepan mata kita dan bila harus dituliskan, tentunya tidak akan cukup terjabarkan di disini.

Dalam sikap dan pikiran yang masih juga menyikapi peristiwa-peristiwa ekstrim itu, turut terlintas perihal “reaksioner keblinger” dan “Solidaritas Semu”, Ku pikirkan dan kupadu dengan pemahaman sendiri, lalu kira-kira beginilah jadinya tentang apa yang terbersit di dalam otak ku: Karena “reaksioner keblinger” dan “solidaritas semu”, orang dengan rela meniru-niru dan melakukan tindakan apa saja demi yang disoliderkannya. Tak perduli apakah orang/ pimpinan yang disoliderkannya itu iblis mata satu atau hantu dari neraka yang belum terdaftar. Dengan meniru atau melakukan tindakan yang diilhami oleh sang solidaritas semu, orang merasa akan terkurangi tanggungjawab pribadinya, yang memang sebenarnya sudah sangat kurang dari pas-pasan. Kalau terus menerus tak menyadari diri, lambat laun akan membuat orang itu semakin tak berpribadi sama sekali. Hmm….Aku berpikir dan berpikir lagi, apakah memang benar seperti itu?

Memang, pada awal-awal kehidupannya, kata guru ngaji ku lagi, setiap manusia memulai segalanya dengan meniru-niru. Dan meniru apa saja yang baik dan bermanfaat justrulah tanda-tanda kemajuan. Semua pribadi yang berkembang memulai dengan meniru-niru sebelum dapat berdiri diatas kakinya sendiri, namun sepatutnya orang harus membiasakan diri dengan kenyataan-kenyataan baru dan seyogianya belajar pula menjadi sesosok pribadi yang memiliki individualitas sendiri.

Sejak dari awal, tulisan ini bukannya berniat untuk ikut-ikutan menguliahi teman-teman, karena penulis ta’u teori-teori perkuliahan yang kita dapat selama ini sudah cukup melelehkan otak dan pikiran, jadi tulisan ini hanya sekedar me-refresh, kalau hati dan pikiran adalah nahkoda jiwa yang akan terus mengarahkan diri kemana pun layar dikembangkan. Individualitas sebagai titik tolaknya dan pendidikan yang kita dapat haruslah membawa diri dan pikiran kita kepada hakekatnya seorang terpelajar. Terpelajar dalam setiap tindak-tanduk, terpelajar menginsafi diri, berprilaku intelektual. Senantiasa berpikir sebelum bertindak, apakah segala yang akan dikata dan dikerjakan tidak menyakiti atau bahkan melanggar hak-hak orang lain.

Memelihara individualitas merupakan tanggungjawab langsung kepada diri sendiri bahwa kita: menghargai diri kita sendiri, menghargai pikiran dan pendapat-pendapat sendiri, juga menghormati pikiran-pendapat dan hak-hak orang lain. Selain itu juga, individualitas berperan penting dalam mengarahkan cara kerja otak untuk menjauhi tindakan yang bertentangan dengan norma dan hukum. Penulis kira, itulah gunanya kita menempuh pendidikan tinggi sampai detik ini. Membangun pribadi yang kokoh tanpa tergantung atau terkontaminasi pribadi-pribadi lain dan menjadi sosok terpelajar sesunguhnya.

“Dan ciri dari terpelajar itu, ingat-ingat. .,” kata guru ngaji ku yang jagoan itu, “dia selalu belajar berlaku adil semenjak dalam pikirannya, sudah adil sejak masih dipikiran, apalagi dalam perbuatannya,” ku resapi wejangan itu dengan diam-diam. Memahami dan coba menuai arti baik dari kata-katanya. Setiap terpelajar harus memiliki individualitas dan berlaku adil. Ya, adil semenjak masih dalam pikiran! Adil sejak di pikirannya, dan itulah galibnya kaum terpelajar. Sudahkah kita mencoba?!

SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA...


(firmhang)

This entry was posted on 08.00 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar